Rilisan Terbaru

Kolektif Videoge

merupakan ruang mandiri yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi pengetahuan; penciptaan karya, pagelaran dan kewirausahaan bersama.

Email
kolektifvideoge@gmail.com

Alamat
Jalan Soekarno Hatta
Tanjung Laiba, Kampung Tengah
Labuan Bajo, Manggarai Barat
Flores, Nusa Tenggara Timur
Indonesia 86763

Ikuti Sosial Media & Subscribe

Maigezine

  /  Cerita   /  Apa Daya Bunyi Dari Bengkel Kayu Yang Berdebu?

Apa Daya Bunyi Dari Bengkel Kayu Yang Berdebu?

“Kita terlalu banyak membangun dinding dan tidak cukup banyak jembatan“

Isaac Newton

Lantaran Musik Hibah berkali-kali tertunda sejak Juli 2019, kegiatan itu lantas meretas menjadi Videoge Live Studio Session pada tiga bulan berikutnya. Musik Hibah hanya menuai ekspektasi. Bahwa membangun apresiasi seni yang terkandung di dalamnya cenderung altruistis. Padahal inisiasi itu muncul justru untuk melayani kebutuhan diri kita sendiri. Sebab dari suka musik maka diadakanlah sesuatu baginya.

Sebagaimana kegiatan lainnya. Tenaga, waktu dan berpikir demi kegiatan ini rupanya belum cukup membawa Musik Hibah benar-benar terjadi. Sudah biasa jika ada kendala teknis. Biasa pula kegiatan begini membutuhkan biaya. Keterlibatan lain pihak dalam berbagi keperluan agar kegiatan itu dapat hidup dari dukungan, apa lagi. Ataukah kegiatan semacam itu memang belumlah siap dibikin.

Sejak Juli e-flyer Musik Hibah telah terbit di media sosial. Selebaran daring di atas adalah publikasi terakhir yang hampir diluncurkan kembali. (Artwork: Maigezine)

Tapi, setidaknya ide Musik Hibah sudah pernah ada. Demikian memancing ide-ide lain mungkin dapat mekar. Walaupun ide itu sudah ada tapi, beride saja kelihatanya belumlah cukup. Kadang kala kita perlu membikin peristiwanya untuk merayakan idenya itu.

Musik Hibah merupakan pertunjukan musik yang diagendakan secara berkala sebagai kegiatan serta apresiasi yang diharapkan sekaligus kegiatan penggalangan dana dalam rangka pengadaan sound system dan alat musik untuk dimanfaatkan oleh perkumpulan inisiatif untuk sesuatu yang mungkin berkelanjutan diadakan.

Perkumpulan yang saya maksudkan adalah dari Rumah Lukis Kampoeng Air, Videoge House, Komunitas Unusually dan segelintir inisiatif individu. Sayangnya, ketimbang Musik Hibah tak sempat jua digelar, lantas bentuknya pun berkembang menjadi kegiatan yang lebih ramping melalui live music dan recording yang diinisiasi oleh Videoge.

Sesi perdana live music dan recording dikemas dalam terbitan video. Nama proyeknya, Videoge Live Studio Session dengan menampilkan solo gitar dari Redra Ramadhan. Ia mengubah lagu “Hanya Rindu”-nya Admesh Kamaleng menjadi instrumen gitar untuk sesi perdana.

Tetapi, dalam mewujudkan sesi kedua, proyek musik ini mengalami kerenggangan jadwal penerbitan videonya selama tiga bulanan sebab kepatuhan kepada konsep. Yakni menyajikan video musik hanya bagi karya dari musisi timur Indonesia. Tetapi, cara itu tampak muskil kembali ditampilkan dalam bentuk aransemen untuk instrumental gitar yang mestinya terbit dua kali dalam sebulan.

Untungnya proyek musik itu kembali terjadi. Sempat kembali dibicarakan lagi namun memberinya nama yang baru. Rupanya hanya mengalami sedikit perubahan nama dari “Videoge Live Studio Session” menjadi “Videoge Live Sessions” yang disingat VLS berkat buah obrolan bersama Yayat Afrizhal, sekaligus belakangan “menodongnya” sebagai project manager.

Bagi Yayat, dalam penyajian VLS dicobakan dengan cara yang biasa saja yakni menampilkan musik apapun menyesuaikan sumbangsih para penampil jika konsep itu kelihatan bagong.

VLS merupakan salah satu proyek berseri oleh Videoge yakni sesi perekaman langsung audio dan video musik dari penampil yang kebetulan adalah teman, juga teman dari teman yang ikut bersumbangsih.

Video musik VLS ini diterbitkan di kanal Youtube dan dipublikasikan oleh Maigezine. Namun cenderung yang ditampilkan adalah lagu-lagu yang di-cover. Belum ada yang menampilkan karya sendiri. Rasanya memang itu menjadi cara termudah menyajikan sumbangan penampilan dan kegemaran kita di musik. Meski sesungguhnya di antara yang tampil sudah memiliki karya lagu dan garapan instrumental yang diciptakan sendiri.

Intens bertemu Yayat Afrizhal terjadi ketika saya ikut bergabung bersama homeband yang dibentuknya bersama Olik dan Dobbie Jacson. Kelompok akustik yang dibentuknya sejak 2016 yang nama bandnya adalah inisial dari nama ketiganya: Y.O.D Acoustik. Band yang bahkan dibentuk sebab dari momentum peresmian nama lama untuk peluncuran dari tampilan baru dari sebuah restoran di Jalan Soekarno Hatta, kurang sedikit letaknya di antara Kampung Cempa dan Kampung Tengah.

Untungnya, di luar dari reguler band itu, obrolan bersama kae Yayat yang bertaut dengan kegemaran main musik atau membincangkan kemungkinan membikin sesuatu yang kecil dari kegemaran itu memang lebih cenderung terjadi ketika nongkrong biasa sehari-hari.

Suasana live music & recording Videoge Live Sessions di bengkel kayu Rukun Jaya, jalan Langka KB, Wae Kelambu. (Foto: Aden Firman)

Saya tidak pernah membayangkan kelak akan bertemu dan melakukan sesuatu bersamanya melalui kegemaran yang sama. Namun dalam ingatan saya, terkait hobi di musik,  Yayat memang sempat merintis usaha penyewaan studio musik yang diberinama Eighty Five di salah satu ruangan di begkel kayu di Langka Kabe yang juga adalah rumahnya sejak 2010 di pasca pernikahannya.

Mesti keberadaan Eighty Five hanya sebentar, persis selama dua tahun, namun saya belakangan makin sering melihat alat-alat musik bekas dari studionya itu rupanya masih diletakkan di atas sofa ruang tamu dan di gudang rumahnya. Sayangnya hanya tersisa bass, gitar elektrik dan sebuah speaker aktif.

Untungnya, kini di salah satu sisi dinding luar ruangan studionya lantas menjadi latar artistik dalam menggelar Videoge Live Sessions di antara mesin ketam, mesin potong beserta tumpukan kayu, meja, kursi, lemari, dan sejenisnya itu yang sedang dalam pengerjaan di sana.

Kata kae Yayat, dinding itu sampai hari ini nyaris tak banyak yang berubah. Debu yang melekat dari serbuk kayu dan jaring laba-laba yang menempel dinding bengkel pekarangan rumahnya juga kelihatannya tak dibersihkan dalam waktu yang cukup lama. Namun beberapa hari saya menuliskan catatan ini bengkel kayu itu rupanya dalam perbaikan lantai dan dinding, juga serbuk kayu dan debu yang sedikit dibersihkan setelah ada banjir akibat hujan.

Saya masih ingat betul isi obrolan singkat sempat terjadi bersamanya ketika suatu hari, sekiranya sembilanan tahun yang lalu ketika berada di dalam studio. Mungkin kae Yayat sudah lupa obrolan sekilas itu. Ketika saya bersama tiga orang teman yang patungan untuk menyewa studio selama satu jam dari sebagian sisa uang jajan. Tak saya ingat persis apa yang membuat obrolan singkat itu tiba-tiba terjadi. Tetapi Ia sempat punya mimpi untuk membikin festival musik di kampung halaman. Namun cita-cita itu tampak tak kunjung jua hingga hari ini.

Saya baru mengerti bahwa agaknya gairah semacam itu hanyalah bentuk nuraga untuk mengajak teman-teman di lingkungannya yang suka dengan musik demi merasakan ruang ekspresi bersama-sama atau mungkin setidaknya hobi di musik itu dapat tersalurkan. Agaknya begitu. Mungkin kedambaan seperti itu datang tidak dalam bentuk festival musik tetapi justru datang dalam bentuk yang lain yakni justru sesuatu yang kecil dan terjangkau.

Apa yang saya dengar dari obrolan intim bersamanya kerap Ia akui bahwa keterampilan bermain alat musiknya justru pas-pasan. Tapi, kegemaran di musik kelihatannya terawat baginya hingga berusia jelang kepala empat—yang begini-begini juga kadangkala jadi gentusan bagi saya secara personal untuk tetap menggemari musik di kampung.

Di masa lalu, sejak merantau dan sekolah menengah pertama ke Makassar tahun 1999. Rupanya Ia tinggal di lingkungan dengan anak-anak muda yang gemar pula dengan musik. Mungkin hobi musik kae Yayat kian terpapar dari sana. Tetangganya sebagian besar adalah anak-anak band yang suka memainkan lagu-lagu bergenre rock. Sempat pula ikut tampil reguler di salah satu hotel di Jalan Sultan Hasanuddin bersama homeband di sana. Tampak gecul juga sebab sempat mengikuti audisi pencarian bakat atas dorongan seorang vokalis yang usianya lebih tua darinya ialah teman bergaul sehari-harinya.

Singkatnya, sebelas tahun diperantauan namun membawanya kembali pulang kampung dan justru merintis usaha penyewaan studio musik untuk beberapa saat.

Setahuku pernah ada juga satu dua penyewaan studio sebelumnya di sebuah ruko dekat lampu merah di sebelah kanan jalan menuju Bandar Udara dan rumah serupa kios yang dindingnya kelihatan ditutupi dari papan-papan tua di pinggir jalan lingkungan Sernaru. Namun yang ingin saya bilang—bagiku atau mungkin bagi kita di masa itu bahwa memiliki satu set alat musik band lengkap dengan ruangan kedap suara (ataupun tidak kedap suara) adalah sesuatu yang amat mewah sebab kelangkaannya di “kampung” Labuan Bajo.

Live music di suatu malam di bulan Februari 2019 di salah satu kafe di Labuan Bajo. (Foto: Aden Firman)

Hal itu, bagi masa bulug saya, keberadaan studio musik itu adalah ruang ekspresi terbaik yang sadar atau pun tidak, kelihatannya ingin sekali kita alami seperti  remaja yang menggebu-gebu—mungkin juga sebagian kita berfikir hal yang serupa tentang ini.

Keberadaan sedikitnya studio di masa itu setidaknya, bagi saya, adalah semacam keberuntungan. Maksud saya, untung saja mengalami dan sempat bermain alat musik di dalam sebuah studio (semi) kedap suara sementara di tengah keterbatasan akses dalam banyak hal. Terutama, yang sepertinya jadi yang terpenting, adalah kehadiran studio musik di kampung menjadi “efek samping” yang sedikitnya tampak memengaruhi perjalanan dan kegemeran saya main gitar—semacam sesuatu dari masa lalu yang agaknya memengaruhi pribadi saya hingga hari ini. Padahal di sepanjang dekade tahun yang sama, di tempat-tempat lain seperti kota-kota besar atau daerah yang kebetulan lebih dulu diuntungkan menjadi tumbuh justru lebih lebar jangkauan dan terpapar manfaatnya dari akses internet yang marak sekali untuk menggali referensinya.

Namun kenyataan hari ini sekaligus menjadi situasinya, yang kita “miliki” soal ruang pertunjukan atau ruang ekspresi musik di kota wisata kita ini ialah apa yang menjadi alasan kita ingin menikmatinya, salah satunya yang cukup intens yakni dengan cara mengunjungi beberapa kafe atau bar, lounge, dan hotel sebagai hiburannya. Agaknya itu sementara cukup membuat kita tampak terjelak. Semoga saya keliru.

Di tempat seperti itu intensitas dan ruang pertunjukan musik agaknya cenderung menonjol terjadi. Setidaknya tiap jelang akhir pekan atau dalam waktu yang berkala. Ruang pertunjukan yang saya maksudkan adalah termasuk macam rupa penunjang yang tersedia di dalamnya. Dari set panggung, lighting, sound system, penonton dan lain sebagianya. Meski tidak semua tempat memiliki itu, namun satu-dua ruang ekspresi musik agaknya dapat kita sebut penting keberadaannya sebagai salah satu ruang penyaluran ekspresi musik. Meskipun hanya ruang tampil bagi kelompok musik sebagai hiburan kepada pengunjung setempat dan wisatawan namun menjadi salah satu cara juga untuk mencukupi kebutuhan finansial di tengah macam-macam pekerjaan di dunia kepariwisataan setempat.

Kesayuan dan sekaligus menjadi keberuntungannya, penunjang pertunjukan atau ruang ekspresi musik seperti panggung, lighting, sound system yang mendingan, kehadiran penonton dan penunjang lainnya tidak lebih banyak bisa kita temui daripada event yang digelar oleh perusahaan tertentu dan pemerintah. Akibatnya, kita bahkan dapat menemui pula kegiatan musik yang memang segmennya amat kecil lantas dapat terjadi di mana saja. Daya bunyi berdentum dari sebuah bengkel kayu hanyalah misal yang datang dari segelintir orang yang menggemari musik di kota ini.[]

About The Author

Belajar dan bekerja dengan audio-video, grafikawan dan tata letak buku, mengerjakan musik di Bunyi Waktu Luang, Justplay Project dan bersambang juga di kolektif Videoge - Maigezine.

Post a Comment

You don't have permission to register
%d blogger menyukai ini: