Rilisan Terbaru

Kolektif Videoge

merupakan ruang mandiri yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi pengetahuan; penciptaan karya, pagelaran dan kewirausahaan bersama.

Email
kolektifvideoge@gmail.com

Alamat
Jalan Soekarno Hatta
Tanjung Laiba, Kampung Tengah
Labuan Bajo, Manggarai Barat
Flores, Nusa Tenggara Timur
Indonesia 86763

Ikuti Sosial Media & Subscribe

Maigezine

  /  Cerita   /  Melukis Kisah Kasih di Gang Kiwi

Melukis Kisah Kasih di Gang Kiwi

Catatan ini sudah pernah dimuat dalam blog adenafirman.wordpress.com pada 14 Juli 2017.

Sore itu hujan turun di selatan Labuan Bajo dan tak lama akan mengarak ke Kampung Air dan sekitarnya. Sudah dua hari hujan datang seperti itu mengguyur sebagian kota mungil ini persis jelang sore hingga malam harinya.

Saya dan sebagian kawan saya tampak sadrah sebab hujan turun adalah keadaan yang tidak diinginkan untuk acara yang digelar di tempat terbuka. Apa lagi persiapan untuk menempatkan dan mengatur pernak-pernik perlengkapan acara ini belum juga dibentang. Padahal waktu acara sudah berlalu dua jam, acara ini hanya baru memungkinkan dibuka pada malam harinya.

Seperti rencana, bila hujan masih akan turun hingga malam nanti, hajatan Kisah Kasih di Gang Kiwi akan tetap diteruskan di teras kios milik Pak Mawar. Meski luasnya hanya sekira 3 x 8 meter, mungkin kegiatan ini bisa teduh di bawah atap teras ‘Kios Bapak Fajar’ ini. Bila itu terjadi, maka kami harus merelakan bagian tertentu acara akan tarasa buntung.

Untungnya, sejak pukul lima sore hingga malam harinya langit cerah sampai acara ini ditutup. Format acara dengan utuh disodorkan; pameran lukisan, nonton bersama filem pendek, dan penampilan musik yang sengaja dibiarkan berjalan secara acak.

“Kalian mau bikin apa?”, tanya salah satu tetangga yang bercengkerama bersama warga lainnya sore itu ketika kami mulai meletakkan alat-alat di jalan baru Kampung Air di bibir Gang Kiwi saat hujan mulai reda.

e-Flyer Kisah Kasih di Gang Kiwi. (Desain oleh Aden Firman)

“Mau bikin acara sebentar e“, jawab Hamsa.

Begitu juga tetangga sekitaran itu yang tampak saksama melihat arak-arakan kami, sementara kami yang mencolok membawa gulungan kabel, layar tancap, kotak lampu, dan perangkat sound system seadanya. Alat-alat ini yang secara beramai-ramai terkumpulkan dari kawan-kawan kami lainnya dalam seminggu persiapan sebelum acara.

“Acara apa itu ka?” tanya ibu yang paling muda di antara ibu-ibu itu lagi. Ia seperti kurang puas dengan jawaban dari Hamsa.

“Pameran lukis sama nonton filem”, jawab Hamsa sekali lagi. Obrolan antara mereka berhenti ketika ibu-ibu Gang Kiwi itu tahu apa dan dimana acara ini akan dibikin.

Memang diantara kami, Hamsa  menjadi orang pertama yang akan disodorkan pertanyaan semacam itu oleh tetangga sekitaran Gang Kiwi Kampung Air. Bila kami tampak berkumpul lagi dan melakukan aktivitas yang mungkin tak biasa seperti hari biasanya.

Mungkin, itu karena kawan-kawan Komunitas Unusually sering bertemu di sekitaran gang ini, jalan sempit menuju tempat biasa mereka bermarkas. Di kolong rumahnya itu juga adalah ruang kerja penyablonan yang dia beri nama ‘Lorong Kecil’.

Rupanya, daya listrik di rumah terdekat dari lokasi acara yang kami minta tidak cukup menampung daya listrik untuk lampu dan perangkat sound system yang kami bawa. Meter listrik berdaya 900 watt itu rupanya terpakai oleh beberapa rumah di Gang Kiwi. Rumah-rumah di situlah yang sementara dalam perbaikan setelah terjadinya musibah kebakaran beberapa waktu lalu.

Dengan begitu, acara mesti digeser ke lokasi lain sebab kabel listrik kami yang tersedia tak cukup panjang bila tetap digelar di bibir Gang Kiwi, apalagi untuk mengaliri tegangan listrik yang tak cukup dari rumah-rumah terdekat dari gang ini.

Kami diuntungkan lagi dengan tetangga setempat yang baik hati yang merelakan satu kulkasnya dia matikan agar aliran listrik yang cukup dari rumahnya bisa kami colok. Pak Azis mengizinkan kami untuk mengaliri listriknya itu secara sukarela kepada kami—biaya pemakaian Pak Asiz talangi seperti biasanya, dia menolak ketika kami menyisipkan biaya untuk itu. Langkah baik, bentangan kabel yang tersedia cukup menyeberangi jalan hingga ke titik acara. Pun acara ini jatuh persis di depan Rumah Lukis – Kampung Air.

Kalo bikin acara lagi ambilmi saja listrik di sini”, kata bapak berkeluarga Bugis ini saat saya dan Hamsa mendatangi dan meminta izin pemakaian listrik rumahnya beberapa saat hujan reda.

“Terima kasih banyak, Om”, lalu kami pamit dan melanjutkan urusan lainnya.

Kepala kabel sudah dicolok, posisi penempatan perlengkapan acara sudah langsung diadaptasi dengan letak tempat yang tidak direncanakan itu. Lukisan-lukisan lama karya kawan kami, Yanto, lalu dipajang. Layar tancap untuk memutar film-film pendek yang dibikin adik-adik Unusually dan lapakan penampil musik sudah siap pula dibentang. Kampung Air di malam minggu dibalut gelap tiada berbintang. Tiga titik utama suguhan pencahayaan lampu yang menyala setidaknya mengalihkan mata saya dari langit  yang berawan malam itu ke titik keramaian.

***

Suasana jelang acara di buka. Dokumentasi: Unusually.

Acara kecil ini semacam acara syukuran dari buah ide kecil di suatu malam ketika kami yang bertemu secara kebetulan. Rupanya kawan kami, Yanto, baru saja beberapa hari datang dari Makassar dan mengabarkan dirinya akan menetap di kampung halaman. Dia berencana membikin galeri dan semacam kelas belajar kesenirupaan di Kampung Air yang dia beri nama Rumah Lukis.

Harapannya itu juga yang agaknya mempertemukan semangat baru dan segar bersama apa yang dikerjakan kawan-kawan di Komunitas Unusually. Terus terang, saya justru senang dan beruntung bertemu dengan kesempatan belajar seperti ini lagi.

Setelah dua tahun lebih bekerja sebagai tenaga pengajar bidang kesenian di salah satu sekolah menengah ke atas di Makassar, kini, dia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya dan mengikuti keinginan kuatnya itu di kampung ini.

Bocah-bocah Kampung Air yang sejak sore hingga malam menanti acara Kisah Kasih di Gang Kiwi. Dokumentasi: Unusually.

Lukisan yang di pamerkan di Kisah Kasih di Gang Kiwi yang di adakan di malam minggu (8/7/17) itu adalah karya lama dari pameran tugas akhir kuliahnya. Kembali dipamerkan sebab tema yang diusung bersama mungkin cocok dengan filem pendek yang dibikin adik-adik Unusually. Begitu juga satu-dua agenda acara lainnya.

Momen kecil ini sekaligus membuka kabar gembira kehadiran saluran baru untuk teman-teman remaja dan mungkin kawan-kawan sepantaran kami yang ingin belajar bersama di Rumah Lukis dan Komunitas Unusually melalui projekan bersama Proyek Kolong Rumah.

Bagi sebagian kami yang tinggal di tepi bagian barat Ibu Kota Labuan Bajo, rumah-rumah panggung hingga tahun 2009 agaknya masih mudah bisa kita jumpai di Kampung Air dan kampung-kampung persisir sekitarnya. Sedikit banyak pengalaman masa kecil kami tumpah di kolong rumah. Tak terkecuali orang-orang dewasa hingga kini masih kita jumpai banyak mengguyurkan waktu senggangnya di kolong rumah-rumah panggung (yang masih terbuka tanpa dinding, tampak rumah-rumah panggung di Kampung Air dan sekitarnya sudah tidak sedikit berdiri dengan dinding dan tiang beton) walaupun hanya mengisi waktu senggang untuk bermain kartu atau mungkin bercengkrama soal pekerjaan dan urusan lain mereka di situ.

Ide ini yang membawa kami untuk meminjam nama kolong rumah sebagai komunitas. Hanya saja harapan ingin menjadikannya sebagai komunitas tak bertahan seperti yang didambakan, justru teralihkan menjadi sebuah projekan yang mungkin dikerjakan dengan jangka dan rencana yang acak bersama kawan-kawan remaja atau siapa saja dari kampung setempat.

Zulkifli Madide yang menghantar acara ini hingga penutupan. Dokumentasi: Unusually.

Proyek Kolong Rumah menjadi semacam daya dan upaya kecil kawan-kawan Rumah Lukis, Komunitas Unusually, dan mungkin siapa saja untuk bermain dan belajar bersama, setelah sedikit banyak belajar dari acara Teras Pesisir (2016) yang atas urunan tangan dari Unusually, Warung Kojo, dan Toko Tako tahun lalu.

“Apresiasi agaknya sedikit demi sedikit bisa tumbuh di Kampung ini, barangkali di Labuan Bajo. Hanya bila kita sedikit lebih produktif atau membikin kegiatan kecil semacam ini berkali-kali”, kata KM. Yanto ketika saya jumpai di Rumah Lukis beberapa hari setelah acara Kisah Kasih di Gang Kiwi. []

About The Author

Belajar dan bekerja dengan audio-video, grafikawan dan tata letak buku, mengerjakan musik di Bunyi Waktu Luang, Justplay Project dan bersambang juga di kolektif Videoge - Maigezine.

Comments

Post a Comment

You don't have permission to register
%d blogger menyukai ini: