Rilisan Terbaru

Kolektif Videoge

merupakan ruang mandiri yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi pengetahuan; penciptaan karya, pagelaran dan kewirausahaan bersama.

Email
kolektifvideoge@gmail.com

Alamat
Jalan Soekarno Hatta
Tanjung Laiba, Kampung Tengah
Labuan Bajo, Manggarai Barat
Flores, Nusa Tenggara Timur
Indonesia 86763

Ikuti Sosial Media & Subscribe

Maigezine

  /  Pagelaran   /  Buka Layar: Tonton dan Diskusi

Buka Layar: Tonton dan Diskusi

BUKA LAYAR merupakan seri perdana layar pemutar rumahan yang menayangkan produksi audio-visual dari Videoge. Seri pertama menayangkan video interview episode ‘Komunitas dan Event’ yang berjudul “Menjejali Kantong Kosong”. Di antara itu juga menayangkan film pendek “Labuh” yang diproduksi oleh Komunitas Unusually. Kegiatan ini didukung oleh Unusually, Rumah Lukis Kampoeng Air, Rumah Makan Bugisan, Proyek ‘PESIAR: One Day One Island’, Komodo Pastime, Infinity Studio, Rekam Moment, LUMISdsgn, dan Labuan Bajo Trip.

Kegiatan ini juga membuka sesi bincang santai soal seni dan apresiasi oleh Kamarudiyanto, founder Rumah Lukis Kampoeng Air, serta berbagi pengalaman dalam proses kreatif tim produksi film pendek “Labuh” oleh Amir Hamsa (sutradara) dan Zulkifli Madide (penulis naskah). Sekaligus soft launching Videoge House beserta presentasi singkat buletin Maigezine oleh Aden Firman.

Pemutaran film pendek “Labuh” merupakan kali kedua setelah sempat diluncurkan pertama kali di kegiatan sekolah, Malam Puncak Reuni Akbar Madrasah Aliyah Negeri Manggarai Barat (MAN MABAR) di awal Agustus lalu.

Kegiatan berkala Buka Layar digelar di lingkungan Waenahi di mana aktivitas dan kerja Videoge House bertempat. Selain itu kegiatan ini dirangkaikan dengan performans gitar solo dari Redra Ramadhan sebagai pembuka acara.

Sesi Bincang Buka Layar #1 (Foto: Irfan Seraja)

VIDEOGE semacam peralatan kerja untuk belajar dan memproduksi audio-visual dan catatan proses dalam praktik dokumentasi dan publisitas. Yakni merekam pengalaman optimisme atau praktik baik yang terjadi di antara kita dan mungkin dapat menjangkau dari apa saja yang dapat kita pelajari dari lingkungan terdekat kita untuk harapan yang yang mungkin lebih melebar. Buka Layar barangkali menjadi salah satu kanal untuk memicu obrolan-obrolan terkait apa yang diproduksi Videoge melalui layar pemutar di pekarangan rumah. Buka Layar terinsipirasi dari sebagaimana biasa bioskop namun dilakukan tempat-tempat yang terjangkau. Pekarangan rumah hanya menjadi misal ketersediaan pilihan itu.

Perkenalan Videoge (Foto: Amir Hamsa)

Bioskop rumahan yang dimaksud dalam praktiknya ialah hanya sesuatu yang ‘biasa’ atau sesuatu yang sengaja digelar dengan apa yang dapat kita jangkau terutama secara teknis itu diupayakan. Dari memaksimalkan bidang tanah dari pekarangan rumah untuk mengadakan kegiatan serupa ini hingga urusan menyediakan layar proyektor dari bahan baliho dari sisa kegiatan lain, atau alat proyeksi layar tancap yang kita pinjam dari di antara teman yang ikut menghadiri kegiatan ini. Mungkin itu hanya bagian kecil apa yang dapat disebutkan sebagai ‘keterjangkauan’ dalam mengupayakannya. Setidaknya segala macam urunan dan sumbangan yang sekecil apapun datang dari teman, kerabat atau siapa saja yang baik hati untuk ikut menunjang praktik semacam ini bersama-sama.

Dalam sesi bincang, usai apa yang kita tonton bersama, Kamarudiyanto yang akrab kita sapa Yanto membagi pengamatannya tentang seni dan apresiasi selama bergiat di Rumah Lukis Kampoeng Air. Sehari-hari Ia yang mengajar di MAN MABAR sebagai guru Seni dan Budaya mengumbar apa yang dialaminya tentang upayanya demi membangun apresiasi dalam aktivitas seni dengan menggelar kelas sketsa dengan membawa anak didiknya untuk melakukannya di luar sekolah di area Labuan Bajo. Kelas ini bertujuan membangun apresiasi sebagaimana yang Ia maksudkan.

Begitu pula, rupanya respons yang ditemuinya ketika bekerja dengan praktik keseniannya bersama tim Rumah Lukis yang Ia rintis yakni membawa seni namun sebagai praktik komersial di beberapa tempat seperti restoran, kafe, kantor agen wisata, dan lainnya. Menurutnya bahwa ketika melakukannya pertama kali, aktivitas seni mural lantas menjadi hal yang dianggap baru bagi warga setempat, namun ketika acapkali melakukannya justru memicu apresiasi orang lain kepada karya mural mereka. Meski kadang mural yang mereka sajikan kerap datang dari konsep pemesan namun dirinya mendapati respons orang lain yang menggembirakan terhadap karya-karya tangannya.

Lain halnya dengan pengalaman yang dibagikan Hamsa dan Zul bahwa praktik keproduksian film pendek mungkin menjadi hal atau praktik yang baru di Labuan Bajo dalam konteks berkomunitas. Melalui Komunitas Unusually mereka mewujudkannya meski mulanya komunitas mereka hanyalah terbentuk dari sebuah usaha sablon rumahan yang dirintis Amir Hamsa dan kawannya sejak masa kuliah.

Perjalanan enam tahun sejak 2014 lalu, lantas membawa komunitas mereka ke dalam praktik belajar ke dalam aktivitas produksi film pendek. “Labuh” menjadi film pendek keempat mereka setelah memproduksi “Pulang” (2014), “Cinta Monyet di Gang Kiwi” di 2017, dan “Hutan Paradoks” di tahun yang sama (baca: katalog “Kisah Kasih di Gang Kiwi” di www.issuu.com/maigezine).

Menurut Hamsa, praktik produksi ini berangkat dengan pengatahuan yang terbatas yakni mengerjakan film pendek secara autodidak bersama anggota komunitasnya yang sebagian besar lebih muda darinya yang saat ini sementara berkuliah di luar Flores.

Penampilan Solo Gitar oleh Redra Ramadhan (Foto: Amir Hamsa)

Selain itu, apa yang banyak dibincangkan dalam Buka Layar, menurut Yanto, dalam konteks kesenian, dunia pariwisata tidak terlepas dari unsur kebudayaan salahsatunya kesenian itu sendiri. Untuk membangun apresiasi kita dapat melakukannya dengan aktivitas kesenian. Meski upaya semacam itu dalam membangun apresiasi di kampung halaman sangat sulit dilakukan, kata RY Zainudin yang sejak 2011 bekerja dan mengalami praktik kreatif dan berjibaku dengan kerja birokrasi pemerintah. Namun menurut Thyke Syukur memang kita tidak perlu menunggu apresiasi itu datang dari orang lain, kita mesti melakukannya sendiri.

Menyambung dengan pengalaman yang dibagikan RY, “kegiatan pemutaran seperti ini mesti dilakukan berulang-ulang setidaknya sebulan sekali. Hal ini setidaknya menjadi bagian dari membangun apresiasi.”

About The Author

saluran publikasi sekaligus produksi pengetahuan dalam seri terbitan audio-visual, zine, katalog dan lain sebagainya dengan cara merayakan gagasan dan praktiknya secara kolektif.

Post a Comment

You don't have permission to register
%d blogger menyukai ini: