Rilisan Terbaru

Kolektif Videoge

merupakan ruang mandiri yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi pengetahuan; penciptaan karya, pagelaran dan kewirausahaan bersama.

Email
kolektifvideoge@gmail.com

Alamat
Jalan Soekarno Hatta
Tanjung Laiba, Kampung Tengah
Labuan Bajo, Manggarai Barat
Flores, Nusa Tenggara Timur
Indonesia 86763

Ikuti Sosial Media & Subscribe

Maigezine

  /  Cerita   /  Videoge Buka Layar: Pemutaran Keliling Film Pendek “Labuh” Dalam Kota

Videoge Buka Layar: Pemutaran Keliling Film Pendek “Labuh” Dalam Kota

“Film pendek semacam ini mungkin biasa saja. Ceritanya tampak diserap dari pengalaman sehari-hari. Tetapi membuat kegiatan produksi seperti ini bagi saya berarti adalah riwayat belajar dari Komunitas Unusually itu. Dari hanya sebuah usaha sablonan menjadi komunitas. Bekerja dengan film pendek pun rupanya tidak menjadi alasan awal dari komunitas itu dibentuk. Menarik bagi saya karena ini terjadi secara mandiri di sini, kampung halaman kita yang kita tahu bahwa apa-apa yang mungkin menjadi penunjang proses kreatif seperti ini amat terbatas. Tidak ada jalan lain selain mengadakannya sendiri.”

Aden Firman (Tim produksi “Labuh”)

Videoge ‘Buka Layar’ kembali diselenggarakan untuk kedua kalinya di tempat-tempat yang dapat dijangkau dengan dukungan inisiatif beberapa teman. Buka Layar #2 membawa film pendek “Labuh” yang digarap Komunitas Unusually, film pendeknya yang keempat yang setidaknya sejak 2014 telah memproduksi film pendek secara mandiri.

Pertama kali Buka Layar diagendakan dalam peluncuran Videoge House dengan menyerap konsep layar tancap yang digelar di pekarangan rumah di penghujung September dengan merangkai acara peluncuran itu dengan diskusi santai tentang aktivitas seni dan apresiasi (Baca: Maigezine Edisi 2, Oktober 2019).

Pemutaran keliling ini untungnya dapat terselenggara di tiga tempat yakni membuka layar tontonan ke teras kota  di Lontart Cafe, Nggorang (9 November), penyelenggaran kedua di Warung Kojo, Sernaru (13 November) dan yang terakhir di La Cecile Hotel and Cafe (24 November).

Meski dalam rencana dan tawaran tempat tontonan ini berjumlah lima titik namun hanya sempat digelar di tiga titik saja sebab alasan kendala kesiapan. Namun film pendek “Labuh” sendiri sudah lima kali ditayangkan sebelum tiga tempat itu. Yakni, penayangan perdananya di Malam Puncak 30thn dan Reuni Akbar Lintas Angkatan Madrasah Aliyah Negeri Manggarai Barat (MAN MAN) pada awal Agustus lalu (tonton video interviewnya di Youtube: Videoge) dan pemutaran kedua dalam Buka Layar #1 di pekarangan Videoge House, akhir September lalu yang sekaligus peluncuran perdana Video Buka Layar sebagai “bioskop rumahan” dan kesempatan berdiskusi.

Kegiatan ini mecoba belajar menangkap respons di tiap tempat tontonan adalah perihal yang mungkin penting untuk dicermati secara sengaja dalam rangka membaca apa saja yang dapat kita pelajari melalui salah satu kanal distribusi karya semacam ini.

Tampaknya respons terjadi berbeda-beda dalam lima kesempatan penayangan keliling ini. Misalnya, pertama, pemutaran dalam Malam Puncak 30thn dan Reuni Akbar MAN MABAR dengan kehadiran 500-an undangan yang terekam lewat berita acara itu yang dihadiri oleh warga sekolah itu sendiri, alumni dan warga setempat yang datang dari lingkungan terdekat sekolah. Yakni mereka yang rupanya sengaja berkunjung ke acara itu. Keinginan untuk menonton film pendek ini rupanya menjadi satu respons kecil yang terdengar secara langsung saat acara dan belakangan pada pasca kegiatan dari teman–teman yang kita jumpai.

Suasana nonton “Labuh” di Malam Puncak 30thn & Reuni Akbar MAN MABAR. (Dok. Aldy Riyadi)

Namun beberapa respons yang terdengar, rupanya motif mereka ingin menonton bukan sebab isi cerita dari film. Justru karena film pendek ini diproduksi dan diperankan langsung oleh anak-anak Labuan Bajo. Meski motif mereka menonton itu lebih semata hanya penasaran saja tapi, respons seperti ini agaknya penting pula dicermati untuk belajar membaca macam rupa apresiasi. Entah sebagai dorongan energi untuk memproduksi film pendek sekali lagi. Penting juga membaca keberadaan daya dukung mengenai praktik kesenian lainnya dari berbagai kalangan. Videoge ‘Buka Layar’ hanyalah misal.

Pemutaran di tempat kedua, di Videoge House. Meski Film pendek “Labuh” mencoba diagendakan bersama item-item kunci lainnya seperti peluncuran Videoge House, penampilan musik solo gitar dan rilisan kecil buletin Maigezine. Tetapi, “Labuh” sengaja ditayangkan lagi sebagai pemantik untuk mendiskusikan seni dan apresiasi  melalui obolan oleh Amir Hamsa dan Zulkifli Madide yang mewakili Komunitas Unusually dan Kamarudiyanto pendiri Rumah Lukis Kampoeng Air yang juga sehari-hari berbagi pengetahuan kesenirupaan melalui profesinya sebagai guru seni dan budaya untuk siswa dan siswinya sebagai pemantik mengobrolkan sesuatu yang bertautan dengan kegiatan ini (Selengkapnya baca: Maigezine Edisi 2, Oktober 2019).

Peluncuran kecil VIdeoge House. (Dok. Amir Hamza)

Melalui tatap muka setidaknya dengan membuka diskusi santai perihal yang dimaksudkan itu; dalam aktivitas seni dan praktik-praktik kecilnya, apa saja hal-hal kecil yang bisa kita upayakan sebagai penunjangnya, di kampung halaman kita yang barangkali dapat kita siasati meski dalam keterbatasan yang kita miliki.

Perihal itu, Videoge “Buka Layar” hanya salah satu cara membuka pencermatan kita atau sebagai kesempatan belajar mengenali aktivitas kita dalam komunitas atau pun melalui inisiasi individu secara signifikan, mungkin begitu. Buka Layar dapat kita jadikan “peralatan” untuk mengenali apa yang membuat praktik dalam komunitas ini mesti terus kita kerjakan sekaligus sebagai kanal distribusi karya dan saluran produksi pengetahuan dan karya.

Videoge Buka Layar #2 di Lontart Cafe. (Foto: Amir Hamza)

Pemutaran ketiga Videoge ‘Buka Layar’ di Lontart Cafe rupanya kita menemukan respons yang beragam.

Lontart Cafe sekaligus ruang pameran alternatif yang disebutkan Mart Sakeus, founder Lontart Gallery. Ia mengaku senang dan merespons baik untuk bioskop ala rumahan ini dapat dibawa ke Ngorang untuk ditonton bersama. Meski jumlah teman-teman yang menonton bersama sekalipun tampak tak banyak mengisi ruangan kafe tetapi, menjadi penting adalah setelah menonton, kesempatan untuk membuka obrolan bisa terjadi sekali lagi.

Menarik bagi saya adalah ketika seorang remaja, saya lupa namanya, yang ikut menonton mengaku bahwa sebelum pemutaran “Labuh”, ia mengira bahwa film pendek yang kita bawakan ini bukanlah dibikin sendiri melainkan film yang dikiranya diproduksi oleh apa yang banyak terjadi di kota-kota besar. Hal itu lantas membawa cara menontonnya yang berbeda terhadap film ini sebagaimana yang sering dia tonton di televisi. Namun ia tampaknya lega setelah mengetahui itu kita kerjakan secara mandiri.

Dalam isi obrolan lain, Mart Sakeus dan kawan-kawan lain juga cenderung menambahkan saran untuk hal-hal teknis dalam pembuatan film pendek ini. Namun tampak mengapresiasi tentang apa yang kita yakini bahwa praktik semacam ini dapat kita kerjakan dengan mandiri meski dalam keterbatasan alat dan pengetahuan dalam melakukan aktivitas produksi karya.

Buka Layar #2 di Warung Kojo. (Foto: Amir Hamza)

Pemutaran keempat ditancapkan layarnya di Warung Kojo yakni kedai kopi yang dirintis oleh Fuad, yang juga sempat menggarap dan menulis cerita dalam dua judul film di Komunitas Unusually, Cinta Monyet di Gang Kiwi dan Hutan Paradoks (2017).

Tampak respons teman-teman yang menonton dari belasan orang yang hadir cenderung membicarakan hal yang serupa, yakni saran mereka tentang ide cerita yang difilmkan. Bagaimana dalam obrolan usai pemutaran sebagian besar menyarankan isi cerita “Labuh” agaknya perlu ditambahkan kelanjutan ceritanya diproduksi selanjutnya.

Perihal lain, peserta diskusi cenderung berharap cerita atau persoalan yang lain dalam kehidupan sehari dapat dijadikan ide film. Namun, oborolan santai itu kian menyenangkan sebab di antara mereka lantas menginginkan keterlibatan mereka dalam kesempatan produksi lainnya.

Berfoto bersama. (Foto: Yus Juliadi)

Meskipun tempat terakhir pemutaran keliling ‘Buka Layar’ #2 dalam daftar tempat yang direncakan adalah  di Rumah Lukis Kampoeng Air, hanya soal teknis dan waktu yang  agaknya tak cukup sempat maka La Cecile Hotel and Cafe menjadi pemutaran “Labuh” yang terakhir.

Kesempatan baik ini terjadi secara tak sengaja. Mulanya, melalui obrolan singkat disela penampilan reguler kelompok musik YOD. Obrolan singkat yang dipantik oleh Yayat Afrizhal, basis YOD bersama Samanta dari pihak manajemen La Cecile yang juga adalah teman baik dari personil YOD. Usai penampilan YOD di malam itu, obrolan dilanjutkan di meja kafe. Saya yang kebetulan baru ikut bergabung dengan kelompok musik ini lantas membuka obolan perkenalan diri dan singkat bercerita tentang apa saja upaya kecil yang dikerjakan melalui Videoge. Dari buah obrolan itu, untungnya, kesempatan baik ini membawa Buka Layar #2 untuk digelar juga di La Cecile.

Tim kecil dari agenda ini hanya membawa softcopy film namun perangkat layar pemutar dan kebutuhan lainnya sudah difasilitasi di sana. Selain itu, selebaran undangan kita sebar secara online via media sosial. Item acara pun dibicarakan bersama dengan menyelaraskannya dengan bentuk acara yang kita butuhkan bersama—begitu pula di tempat pemutaran sebelumnya.

Live musik dari YOD Acoustik. (Foto: Aldy Riyadi)

Acara dibuka oleh penampilan YOD dan dilanjutkan dengan pemutaran “Labuh”. Juga penampilan sebuah lagu yang menjadi latar musik film ini. Dilanjutkan dengan sesi perkenalan tentang film itu sendiri oleh Zulkifli Madide dan berbagi cerita  singkat tentang kegiatan Videoge ‘Buka Layar’ yang acara ini dipandu oleh Angie sebagai pembawa acara.

Sebab format acara tampak showcase, apa yang disajikan cenderung terjadi hanya penyaluran informasi film ke satu arah saja kepada pengunjung kafe La Cecile.

Penampilan Waktu Luang ft. Redra Ramadhan. (Foto: Aldy Riyadi)

Kita mungkin gampang menemukan jenis penonton di sana. Pertama, adalah tamu hotel itu sendiri. Kedua, tamu kafe yang secara tidak sengaja berkunjung di waktu pemutaran dilangsungkan. Ketiga, penonton yang mungkin segaja datang ingin menonton film ini.

Mungkin agak relevan jika format acara dikemas dalam bentuk showcase dengan menyuguhkan item acara dengan cara menyerahkannya demi hanya untuk dinikmati.

Suasana Buka Layar #2 di La Cecile Hotel and Cafe. (Foto: Aldy Riyadi)

Namun yang tampak menyenangkan adalah penonton yang sengaja ingin datang ialah undangan antara teman baik kita, juga teman dari teman. Meski pribadi saya berharap ada respons langsung dari siapa saja yang hadir malam itu sebagai sesuatu yang mungkin dapat kita pelajari dalam aktivitas dan produksi seni semacam ini.

Setidaknya yang mungkin amat penting bagi kegiatan ini ialah inisiatif dari teman-teman yang membantu dan mendorong kegiatan ini dapat diselenggarakan dengan partisipatif dan sukarela. []

About The Author

saluran publikasi sekaligus produksi pengetahuan dalam seri terbitan audio-visual, zine, katalog dan lain sebagainya dengan cara merayakan gagasan dan praktiknya secara kolektif.

Post a Comment

You don't have permission to register
%d blogger menyukai ini: