Rilisan Terbaru

Kolektif Videoge

merupakan ruang mandiri yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi pengetahuan; penciptaan karya, pagelaran dan kewirausahaan bersama.

Email
kolektifvideoge@gmail.com

Alamat
Jalan Soekarno Hatta
Tanjung Laiba, Kampung Tengah
Labuan Bajo, Manggarai Barat
Flores, Nusa Tenggara Timur
Indonesia 86763

Ikuti Sosial Media & Subscribe

Maigezine

  /  Cerita   /  Kawan Yang Terus Mendentumkan Bunyi

Kawan Yang Terus Mendentumkan Bunyi

Catatan ini sudah pernah dimuat di blog Adenafirman (Dot) WordPress (Dot) Com pada Juli 2018 dan telah dimuat kembali dalam buletin Maigezine Edisi "Bagi Bunyi Bagi Cerita"  (Edisi 4, April 2020).

Ketika di sekolah menengah ke atas, saya pernah merasa sangat yakin sekali bahwa bila seleksi untuk menjadi kelompok pemain drumband sekolah akan berpendar juga di tangan orang ini; dia-lah Siswanto Gunawan. Mengapa begitu? Bacalah paragraf berikut!

Dia teman saya sedari kecil. Setahu saya sejak sekolah dasar, dia adalah bocah yang pendiam dan bahkan jarang sekali bercengkrama bersama teman kelasnya yang lain.Begitu juga sudah termasuk saya.

Kebetulan, kami memang berada dalam kelas belajar yang sama sampai kami menyelesaikan sekolah dasar. Tapi, justru menjadi sangat akrab untuk tahun-tahun berikutnya.

Bermain dalam kelompok drumband belumlah pernah terbayangkan bagi bocah seumuran itu. Apalagi alat dan kesempatan mendengar dan melihat langsung pertunjukan gemuruh bunyi drumband ataupun kombinasi musik semacam itu tidaklah pernah mengisi “pengetahuan mendengar” di masa kecil. Jangankanlah lagi alat musik lainnya yang memanglah betul langka wujudnya. Kecuali, Anda ingin membaca paragraf selanjutnya.

Setelah selesai sekolah dasar, kami justru bertemu lagi di sekolah lanjutan tingkat pertama, SMPN 1 Komodo. Namun kami terpisah saja ruang kelas. Dengan begitu, peluang untuk menjadi sahabat karib belumlah begitu terjadi. Akibatnya, perihal tentang dirinya hanya tampil menjadi “kejutan” bagi saya sendiri dalam paragraf-paragraf yang berisi masa lalu ini.

Saya tidak pernah mengira dia bisa bermain gitar, sehingga dia menjadi salah satu nama yang sering disebut-sebut ketika pelajaran Muatan Lokal (Mulok) yang dihantarkan guru kami yang berdiri membawa pelajaran itu di depan kelas.

Dia bahkan menjadi salah satu siswa yang diberangkatkan ke ibu kota provinsi untuk satu event yang digelar khusus untuk sekolah setingkat itu. Mereka menjadi duta sekolah untuk pertunjukan musik lokal dan lagu lawas yang sudah diaransemen dengan gaya tersendiri untuk ditampilkan di Kupang. Sedang saya hanya ingin bermain bola kaki bersama tim kelas.

Mendapatkan kesempatan macam begitu amat keren bagi seumuran itu, kegiatan yang bisa jadi idaman-lah. Orang tua bisa dibuat bangga. Tapi saya tidak tahu kalau sekarang, ya.

Setahuku, memang dia salah satu nama yang bisa bermain gitar yang cukup diandalkan di sekolah. Dia gemar bermain gitar hanya dengan satu demi satu sentuhan nada saja, maksud saya dia suka sekali melodi. Tapi, sambil bernyanyi. Sering sekali saya temui dia memetik gitar dengan gaya semacam itu. Kepalanya juga sedikit dia angkat, tapi seakan sambil melihat sesuatu yang nan jauh di ufuk. Ini seperti berlagak pamer saat bernyanyi, tapi bukan, rupanya itu teknik dia mengambil nafas.

Menyanyi dengan sebuah gitar saja bagi saya tampak menawan, mendingan diiringi sentuhan manis dengan akor-akor yang biasa saja. Tapi, cara menikmati musik semacam dia itu menjadi terasa aneh saja bagi saya yang sementara itu baru belajar memainkan gitar.

Di sekolah yang dulu, siswa-siswi diuntungkan boleh membawa gitar ke ruangan kelas bila di hari tertentu mendapatakan giliran mata pelajaran Mulok. Ini bisa menjadi alasan yang saya kira menyenangkan bagi setiap peserta belajar yang ingin membawa dan jika punya alat musik sendiri.

Ketika jam istirahat belajar sudah tiba. Jeda yang singkat itu menjadi kesenangan lain bagi siapa saja di antara para peserta belajar yang membawa alat musik ke sekolah. Begitu juga dia yang sering saya amati duduk bermain gitar di bawah pohon di halaman sekolah bersama teman-teman perempuan di kelasnya. Di dalam kelasnya memang lebih banyak jumlah siswi dibanding siswa.

Sampai di sini, cerita tentang dirinya dan drumband tidaklah bisa saya ceritakan. Yah, memang tidak ada cerita untuk itu di masa SMP. Lantas mengapa dia bisa membangun kepercayaan sekolah mengasuh dan membawa marching band sekolah hingga kini? Sampai di sini, saya harap Anda tak ingin meloncat ke cerita masa kini dulu.

Kalau saya tidak salah ingat, pengetahuan langsung mengenali drumband itu, saat kita duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama. Ketika saya hanya baru mengenal akor dasar gitar dan cara meniup suling yang terbuat dari plastik, juga  saat saya lebih cenderung suka bermain sepak bola dalam perlombaan sekolah antar kelas.

Di situlah dentuman bunyi drumband pertama saya dengar. Kombinasi tabuhan yang kompak terpancar dari tentangga sekolah kita yang dekat, SMK ST. Ingatius Loyola Labuan Bajo. Yakni Lingkungan sekolah di seberang jalan yang dikenal memiliki fasilitas belajar yang memadai. Adalah penampil drumband pertama yang kita ketahui. Bila bunyi bergemuruh lagi di kala sore, maka pertanda latihan mereka sedang digelar kembali. Pemandangan itu sering terdengar katika kelas belajar sore ataupun jadwal pertanian (kerja bakti untuk membersihkan sekolah) diadakan lagi.

Tak ada imajinasi drumband untuk jenjang usia remaja kami. Gitar akustik standar masih menjadi satu-satunya alat musik yang bisa disentuh dan dipelajari diantara teman-teman yang beruntung sudah memilikinya.

Di kesempatan belajar mengasah daya kreasinya, saya menyaksikan permainan gitarnya kian hari makin “gagah” saja. Sementara di dalam lubuk hati saya, ingin pula untuk terus melatih permainan gitar saya di mana dia-lah yang sempat saya anggap rival bermainan gitar.

Terus terang saja, saat itu saya tak ingin pula ketinggalan cara darinya. Begitu gairah jenjang usia remaja saya “membakar” keinginan itu. Walaupun kesenangan bermain gitar lantas membawa kami untuk bersama membikin sebuah kelompok musik. Itu terjadi di tahun pertama sekolah menengah ke atas, sekolah yang kini menjadi tempat dia menggawangi dan mengasuh ide-ide garapannya ke dalam kombinasi musik yang terus diperbaharuinya.

Ketika bersekolah, ruang kelas yang berdekatan membuat kita sering bertemu. Hingga tahun kedua pilihan jurusan kami juga sama, memilih kelas Bidang Bahasa. Selain di luar sekolah pun kita nampaknya semakin rajin ketemu sebab kelompok musik yang begitu saja dibentuk. Sekawanan yang suka main musik yang akhirnya tidak pernah menampilkan dan membawakan lagu-lagu yang dibikin sendiri itu. Untungnya, mereka malah sering tampil dalam kelompok drumband sekolah.

Di tahun pertama kami sekolah, rupanya pihak sekolah kita telah memesan paket instrumen standar drumband. Itu menjadi tahun pertama grup marching band sekolah diinisiasi. Bersamaan pula pelatih muda yang didatangkan dari Kupang yang membimbing dan memberikan kesempatan latihan teman-teman dalam beberapa waktu.

Tiga tahun pertama, formasi pemain drumband untuk peniup trompet, duo Quarto Drum, dan satu penabuh Bass bahkan tak pernah tergantikan, semacam menjadi pemain tetap. Selain saya diminta menabuh di Duo Quarto Drum, salah satu diantaranya adalah dia yang meniup trumpet.

Anehnya, Anto satu-satunya siswa yang diperbolehkan membawa pulang satu alat drumband untuk dia latih di rumahnya. Bibirnya sering saya lihat pucat kehitaman. Juga, dia yang pernah mengaku suatu ketika perutnya terasa sangat perih, rahangnya kram sebab terlalu sering meniup trompet.

Tiga tahun berlalu, ketika angakatan kami akhirnya tamat sekolah. Barulah setiap tahun formasi pemain tetap itu menjadi terus terbuka, berganti-ganti menjadi bagian dari grup itu. Rupanya tak lama, kabarnya dia lantas diminta untuk memandu drumband oleh pihak sekolah.

Saya yang terlanjur meyakini kejutan-kejutan darinya, mungkin juga bagi tim drumband kala tampil bahwa tiap lengkingan getaran trompet berbunyi, setiap itu pula semangat kian terbakar.

Siapakah dari siswa-siswi terpilih ketika tahap seleksi drumband pertama sekolah, bisalah jadi adalah diantara mereka yang diketahui mampu meletakkan keterampilannya bermain gitar atau menjaga tempo permainan sambil bernyanyi dengan akurat di lingkungan sekolah. Seperti halnya dia,  sambil melantunkan melodi namun sembari terus bernyanyi. Maka, akan mudah bagi Anda untuk menjadi bagian dari tim drumband sekolah. Meski kadang-kadang justru karena ada siswa-siswi yang berprestasi dan punya gaya dan berdandan yang mencolok dibanding yang lain juga cenderung dikutkan ambil bagian.

Soal itu tentu bisa menjadi hal yang biasa saja bagi masa-masa di sekolah. Mungkin bagi setiap siapa saja yang memahami kesenian musik kombinasi seperti demikian di manapun terjadi. Tetapi, saya seakan membangun pengecualian daripada seluruh paragraf di atas.

Bahwa bukanlah saya atau Anda yang lolos seleksi di sana, lalu dikemudian hari turut menggelar pula upaya yang sama menjadi pelatihdrumband di tempat yang sama karena ketekunan. Sekalipun telah percaya diri bahwa Anda akan melaluinya karena memang saya atau Anda bisa.

Tetapi memutuskan dengan sadar demi menyerahkan diri kepada kesulitan yang beragam atau yang tidak pernah kita duga ialah pengecualian yang saya maksudkan. Bahwa bekerja dengan mengandalkan daya kreasi semacam ini seolah terus membahayakan diri sendiri. Sebab jika tidak, siapa pun Anda akan dituduh tidak kreatif. Bukan begitu? []

About The Author

Belajar dan bekerja dengan audio-video, grafikawan dan tata letak buku, mengerjakan musik di Bunyi Waktu Luang, Justplay Project dan bersambang juga di kolektif Videoge - Maigezine.

Post a Comment

You don't have permission to register
%d blogger menyukai ini: