
Kisah Sekawanan Remaja dan Sekelompok Musik di ‘Kota Baru’
Catatan ini sempat terbit di Floresmuda (Dot) Com dan dimuat kembali di blog Adenafirman (Dot) WordPress (Dot) Com pada Februari 2018 dan tulisan ini mengalami sedikit pembaharuan isi. Dimuat juga dalam buletin Maigezine Edisi 4 (April 2020)
Bagaimana bisa kelompok musik dengan lagu-lagu ciptaannya sendiri bahkan tidak pernah mereka bawakan ke atas pentas? Cerita ini barangkali bisa menjadi pertautannya.
Persis di penghujung tahun 2007, sekelompok kawanan remaja tingkat sekolah menengah atas dengan penuh percaya diri lantas membuat sebuah band.
Dengan sebuah harapan masa remaja ‘kampung’ yang sesungguhnya, mungkin mereka sadari bahwa kelompok musik yang mereka buat merupakan band yang bahkan sama sekali tidak akan membawakan lagu-lagu mereka di atas panggung pentas.
Penyebabnya barangkali bisa jadi atau bisa juga tidak datang dengan alasan yang ini; karena band yang mereka bikin ini ada di ‘kampung’—sesungguhnya saya hanya ingin bilang, persoalan yang mungkin semua orang tahu bahwa keterjangkauan atas akses kita dan kesempatan apresiasi yang terbatas adalah persoalan yang kerap menjadi kenyataan untuk sebuah daerah yang baru ingin tumbuh misalnya Labuan Bajo. Sebuah kota baru di ujung barat Pulau Flores adalah ‘kampung’ yang saya maksud.
Tempat aku sedari kecil diasuh dan dibesarkan kedua orang tuaku—saya akan mencoba menyebut ‘kota’ untuk kata ganti tempat ‘Labuan Bajo’ walau pun terus terang saja, saya merasa masih belum terbiasa menyebut kata keterangan ‘kota’ yang disematkan di depannya, meskipun sebagaimana secara administratif memanglah ‘ibu kota’ kabupaten.
Yang saya tahu, di masa lalu kita (‘masa lalu’ yang saya maksudkan adalah rentang waktu sembilan tahun dari tahun 2000-an) setidaknya ada empat kesempatan apresiasi yang mungkin dapat dijangkau dan barangkali sudi untuk disebutkan sebagai panggung untuk remaja di kota kecil kita ini.
Pertama, di hajatan 17 Agustus yang digelar pemerintah di pelataran kantor bupati setiap tahunnya.
Di hajatan seperti itu Anda akan mudah bertemu dengan ratusan anak dari berbagai sekolah dan tingkatan. Lengkap juga dengan para guru serta barisan para pegawai dinas pemerintah yang akan bubar barisannya usai upacara bendera. Biasanya sebagian dari barisan upacara itu akan ikut bergabung bersama warga setempat (saya kira bahkan warga dari Labuan Bajo dan sekitarnya) sengaja berdatangan hanya untuk menonton item-item penampilan atraksi dan seni yang disuguhkan.
Situasi semacam itu lumayan menggairahkan sebagai ajang unjuk gigi melalui atraksi dan seni. Barangkali Anda atau pun secara berkelompok dapat mendaftarkan diri terlebih dahulu bila ingin menjadi peserta penampil untuk menunjukkan karya-karyamu di acara semacam ini. Kami pernah mencobanya meski pun melalui pertunjukan tatap muka: teatrikal dan rampak perkusi. Kami yang saya maksudkan adalah sekelompok mahasiswa rantau yang mudik untuk berlibur (Baca: Katalog “Mencari Kemerdekaan di Hari Kemerdekaan” di https://issuu.com/maigezine/stacks).
Panggung apresiasi yang kedua, temuilah kesempatan itu dalam ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an.
Setidaknya kawan bermusik Anda bisa diajak untuk mewakili kampung atau RT/RW-mu untuk membawakan lagu-lagu kasidah yang biasanya dimentori para guru mengaji atau bisa juga menemani langsung kemunitas ibu-ibu pengajian yang gemar menyanyi.
Panggung semacam inilah yang rupanya mempertemukan pemain gitar dan pemain drum dengan ‘remaja kampung’ yang membuat kelompok musik dengan nama yang aneh: Aksesoris Band.
Panggung ketiga adalah arena bermain musik yang paling mudah dijangkau. Anda hanya menyewa tempat dan alat musik di studio musik bersama-sama.
Setidaknya cara ini bisa berguna untuk menyalurkan kesenangan bermusik Anda bersama kawan satu band.
Bila uang ternyata tak cukup untuk menyewa studio, biasa kita akan mencoba dengan cara patungan. Kadang bila alat instrumen kurang, bermain ganti-gantian tetap saja menyenangkan—di masa lalu, ada dua studio yang saya ketahui; lokasi pertama sebuah gedung mirip toko di sebelah kanan jalan raya setelah beberapa meter dari lampu merah menuju bandar udara dan yang kedua; sebuah ruang yang dihimpit mebel dan toko persis di perempatan Langka Kabe (nama studio saya sempat lupa dan mengira studio ini tidak memiliki nama ketika tulisan ini diluncurkan. Belakangan saya baru tahu namanya adalah studio Eighty Five).
Berikutnya, panggung musik di salah satu bar yang cukup tua di pesisir utara kota yakni Paradise Bar Labuan Bajo.
Saya pernah membayangkan bagaimana bisa bermain di tempat ini. Meski belum pernah menemukan kesempatan itu. Remaja seperti saya akan merasa itu keren sekali. Pikiran itu muncul belakangan setelah kakak dari pemain keyboard dari kelompok musik kami pernah menjadi basis untuk homeband di tempat itu.
Di suatu waktu, masih di masa lalu, setelah bermain di acara lomba musik akustik yang digelar oleh sekelompok tim sukses (acara menjelang Pilkada), seorang drummer yang saya ketahui berasal dari bar itu tiba-tiba muncul dari arah penonton. Ia datang menghampiri salah satu dari kami dan menawarkan hal yang membuat saya iri. Rupanya dia dan band-nya membutuhkan seorang pemain keyboard.
Saya tahu betul kawan saya ini lumayan alim hanya untuk menolak tawaran itu lantaran bila setiap pekan usai tampil, dia akan membawa pulang beberapa botol bir ke rumah yang bisa jadi itu terlarang untuk keluarga yang religius. Kendati pun saya dan dia tahu kalau skill bermain musik kami memanglah pas-pasan.
Seperti yang saya duga, kesempatan itu benar-benar hanyalah sebuah tawaran.
Bar itu memang menggoda. Panggung dan pencahayaan panggungnya juga instrumen musik beserta perangkat pertunjukan yang tersedia menjadi barang yang sempat saya anggap mewah. Pikiran itu menjadi ekslusif sebab perangkat musik (instrumen gitar dan bass elektrik, drum dan sound system) serta pendukung pertunjukan live music yang saya tahu di masa lalu hanya ada di tempat seperti itu di Labuan Bajo.
Anda dapat bermain di tempat semacam itu bila memang Anda atau kelompok musikmu dapat menirukan lagu-lagu berbahasa Inggris. Bermain dengan persis seperti dalam kaset yang tersebar yang semua orang akan tahu bila Anda ketahuan berimprovisasi. Walaupun yang saya ketahui bahwa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan lokal amat langka terdengar dari pengeras suara yang terpancar bila saya sedang nongkrong di lokasi yang dekat dengan bar itu. Mungkin sebab tamu mereka yang berkunjung bukan hanya pelancong lokal melainkan melayani wisatawan asing.
Suara musik yang dimainkan kadang dapat Anda dengar saat malam di setiap akhir pekan yang terpancar dari puncak bukit di tepi pantai di mana bar itu berdiri. Lagu-lagu regge sudah seringkali terdengar.
Di masa sekarang ini mungkin bisa menjadi pengeculiannya. Lagu-lagu dari Ivan Nestorman dengan berjudul “Mogi” yang amat populer itu misalnya.
Bagi saya, bunyi-bunyian khas Flores yang disuguhkan melalui lagu-lagunya, agaknya memberikan pengalaman mendengar dan bernyanyi kita yang terasa berbeda dengan lagu-lagu lokal yang biasa kita dengarkan. Jangan-jangan ciutan “Salam Neo Tradisi” yang diunggah 31 Januari 2017 melalui akun twitter (@nestornation) untuk penggemar Ivan Nestorman ini bisa jadi penanda bahwa bunyi-bunyian masa lalu yang kita kenal memang telah ‘terbarukan’.
Apakah bukan hanya saya saja yang merasa bahwa bila memainkan lagu “Mogi” itu seperti meningkatkan kepercayaan diri saat menyanyikan lagu dengan bahasa sendiri. Bagi saya itu terasa akrab sebab lantaran lahir dan dibesarkan di daratan Flores. Meski sesungguhnya saya tidak mengetahui seutuhnya arti dan terjemahan syair lagu itu.
Padahal Ivan telah berkiprah di dunia musik bahkan sekira 20 tahun lalu. Selain belakangan, secara tidak sengaja, sebetulnya lebih sering saya berkunjung ke akun media sosialnya dan menemukan videonya di Yutube, musisi jazz papan atas nasional yang tampak akrab bermain musik bersamanya. Begitu juga Ia yang di kenal sebagai “Seniman unik dari Flores” yang membawa musik ciptaannya ke panggung Internasional. Tapi, lagu-lagunya bahkan seperti baru saja tiba di telinga kita.
Sependek yang saya tahu. Demikian kini kabar gembiranya ialah perangkat-perangkat dan kesempatan belajar, sekiranya untuk menemukan pengalaman apresiasi serta bercebur diri dalam belajar bersama, berbagi dan berkelindan bahkan mudah dijumpai di arena belajar komunitas orang muda di kota kecil kita ini.
Atau tidak menjadi pengecualian juga bila mengikuti ritme “kids jaman now,” bahwa Anda dapat menerima manfaat dari perangkat teknologi dan media internet sebagai alat bantu untuk mendapatkan bagaimana menjangkau dan menyodorkan kesenangan Anda.
Tetapi, bagaimana bila kesempatan semacam itu hanya tersedia di masa kini?
Tunggu dulu. Di masa lalu, kelompok musik kawanan ‘remaja kampung’ itu rupanya berencana merekam lagu-lagu mereka sendiri ke dalam kaset pita kosong yang didapatkan di sebuah toko kecil aneka elektronik Toko Tanjung di Gunung Laiba di batas Utara Kampung Air.
Mereka seperti tampak serius dengan band yang mereka bikin. Sekira empat atau lima lagu berhasil mereka rekam dengan audio tape milik salah satu dari mereka. Lagu-lagu yang berisi tema kasih sayang yang amat galau, remaja yang tampak dirundung kasmaran.
Setelah tamat sekolah, mereka jatuh pada pilihan kuliah. Itu berarti memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman—di kabupaten kami belum ada kampus atau institusi pendidikan setingkat itu; kabar yang beradar baru akan dirintis sebuah kampus dengan menggunakan citra komodo sebagai nama universitas.
Sementara masih tak ada pilihan lain. Bila ingin kuliah berarti meninggalkan kampung halaman. Dengan begitu, band yang dibikin benar-benar hanyalah semata sebuah kesempatan dan kesenangan yang menghiasi masa remaja mereka bersama lagu-lagu kasmaran ciptaannya sendiri yang bahkan tak pernah sampai di telinga para pendengar.