Rilisan Terbaru

Kolektif Videoge

merupakan ruang mandiri yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi pengetahuan; penciptaan karya, pagelaran dan kewirausahaan bersama.

Email
kolektifvideoge@gmail.com

Alamat
Jalan Soekarno Hatta
Tanjung Laiba, Kampung Tengah
Labuan Bajo, Manggarai Barat
Flores, Nusa Tenggara Timur
Indonesia 86763

Ikuti Sosial Media & Subscribe

Maigezine

  /  Cerita   /  Iseng Berkunjung Ke Boleng

Iseng Berkunjung Ke Boleng

WAKTU MENDENGAR KATA Boleng, ingatan saya tiba-tiba disapa oleh salah satu kota di Sulawesi Utara yaitu Bolaang Mongondow. Boleng dan Bolaang, dua kata tentang nama daerah yang tampak “seksi” di kepalaku seketika. Iseng-iseng ku cari di Google, dari laman resmi Pemkab Bolang Mongondow, kudapati informasi bahwa nama tersebut berasal dari kata Bolango yang berarti laut atau Bolaang juga bisa bermakana tempat yang terang.

Sebaliknya informasi kesejarahan belum berhasil ku temukan tentang Boleng, setidaknya informasi dasar tentang asal-usul penamaannya. Namun ada bagian yang identik antara Bolaang dan Boleng yaitu laut. Boleng merupakan daerah yang berada di kawasan wilayah pesisir. Satu hal yang menarik kemudian bagi saya adalah apakah makna “tempat yang terang” masih punya sisi identik antara Bolaang dan Boleng.

Menyeberang ke Boleng Pulau.

Pada suatu hari yang iseng-iseng, kawan setongkrongan mengajak untuk berkunjung ke Kampung Boleng di wilayah pantai utara Kota Labuan Bajo. Motivasinya bermacam-macam, mulai dari kegemaran berburu di hutan, hunting foto, atau hanya sekedar touring ke pelosok karena sejenak menepi dari ingar di  kota. Tapi begitulah kami, biasanya kalau salah satu di antara kita memanaskan rencana, yang lain ikut terbakar.  Maka berangkatlah kita tanpa perencanaan yang hakiki–terjadi begitu saja.

Jalan raya yang sedang dalam pembangunan di ke arah Boleng Darat. (Foto: Bondan NM)

Kampung Boleng sendiri terbagi dua. Warga lokal menyebutnya Boleng Darat dan Boleng Pulau. Boleng Darat letaknya masih sedaratan dengan Labuan Bajo. Kita bisa menggunakan kedaraan mobil atau sepeda motor menuju ke sana. Waktu tempuh yang dibutuhkan kurang lebih satu jam tiga puluh menit. Jalan belum sepenuhnya mulus. Kita masih harus melalui jalur pengerasan yang dilapisi bebatuan.

Sementara Boleng Pulau letaknya terpisah. Posisinya persis berhadapan dengan Boleng Darat. Dibutuhkan kapal laut untuk menjangkau kampung pulau tersebut. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekisar lima belas menit berlayar. Kita bisa menumpang kapal nelayan yang setiap hari bolak-balik.

Boleng Pulau (Foto: Yus Juliadi)

Beberapa di antara kami sudah sering mengunjungi kampung ini. Ada yang datang dengan urusan pekerjaan, dan ada pula yang punya kerabat keluarga. Sambutan hangat tertuang dalam secangkir kopi ketika kami baru saja tiba di salah satu rumah warga yang juga kenalan dan kerabat salah seorang teman.

Matahari sudah tepat di atas ubun-ubun ketika kami sampai. Udara panas sedikit membuat kami tampak enggan beranjak untuk beraktivitas. Pada akhirnya, ekspektasi sebelum kedatangan berbanding terbalik dengan realitasnya. Tidak ada lagi berburu di hutan seperti yang direncanakan.

Di sana bapak pemilik rumah sangat baik menjamu kami. Tak ketinggalan ia ikut bergabung, berbagi cerita sembari menikmati hidangan kopi yang sudah disajikan. Ia bertutur tentang kisah masa kecilnya, aktivitas sehari hari, hingga obrolan anekdot yang membuat kami tertawa.

Terdapat empat rumpun mayoritas yang mendiami kampung Boleng. Bajo, Bima, Bugis, dan Manggarai. Di wilayah pesisir Boleng Darat, lebih banyak dihuni oleh orang Bima, sementara dibagian dataran tinggi dihuni oleh orang Manggarai. Di Boleng Pulau lebih banyak dihuni oleh orang Bajo dan Bugis. Ada juga beberapa yang dari Bima.

Rencana selanjutnya disusun secara mendadak di sini. Setelah berdikusi panjang yang tak jelas, akhirnya kami bersepakat untuk menyebrang ke Boleng Pulau. Salah seorang teman lalu menghubungi kerabatnya untuk menjemput kami dengan perahunya.

Boleng Darat saat air laut surut. (Foto: NM Bondan)

Waktu perahu datang menjemput, kondisi air laut sedang berada pada keadaan surut. Jaraknya cukup jauh dari bibir pantai. Alhasil, dari dermaga Boleng Darat, kami berjalan kaki menuju kapal yang berlabuh di air yang lebih dalam. Sedikit basah-basahan, tapi sangat seru. Kami harus mengatur posisi duduk dengan menjaga keseimbangan kapal saat berlayar. Perahu yang kami tumpangi adalah perahu nelayan dengan ukuran lebar kurang lebih satu meter. Perjalan semakin berkesan dengan segala kondisi dan situasinya.

Rupanya sedang ada event olah raga ketika kami tiba. Pertandingan futsal antar kampung sekitarannya. Banyak sekali warga yang datang menonton. Ada yang duduk di tangga rumah hingga di pinggir lapangan.  Area lapangan dibatasi menggunakan pagar tali.  Rasanya sudah lama sekali saya tidak menonton pertandingan sepak bola secara langsung di lapangan. Melihat pertandingan ini, saya seperti sedang bermain game FIFA di Playstation. Banyak adegan lucunya mulai dari perdebatan dengan pengadil lapangan hingga perseteruan dengan lawan tanding.

Pertandingan sepak bola dalam rangka merayakan Idul Adha oleh warga Kampung Boleng pulau. (Foto Yayat Afrizhal)

Penduduk Pulau Boleng sangat ramah dan murah senyum. Sore hari seusai menyantap makan siang yang terlambat, saya dan kawan-kawan berkeliling kampung, berupaya merekam ruang dan detak kehidupan di sini lewat fotografi. Penduduk Pulau Boleng mayoritas bekerja sebagai nelayan. Di sekitar pantai, tampak perahu-perahu tangkap ikan yang berlabuh mulai dari perahu kecil untuk memancing, hingga perahu bagang yang agak lebih besar.

Rumah tinggal penduduk di sini sebagian besar sudah berbentuk bangunan permanen. Namun masih banyak juga kita jumpai rumah panggung dari bahan kayu bergaya arsitektur Bugis. Di bagian kolong rumah biasanya dipakai untuk menyimpan perlengkapan nelayan dan juga bale-bale untuk beristirahat. Kami berjalan menyusuri tepian pantainya. Melihat lebih dekat aktivitas peralatan tangkap yang dirawat dan disiapkan sebelum turun melaut.

Hanya terdapat satu sekolah dasar di sini. Kalau ingin melanjutkan ke jenjang SMP, anak-anak harus pergi ke Kota Labuan Bajo. Jika punya keluarga atau kenalan teman, mereka bisa menumpang tinggal. Namun jika tidak, mereka harus membayar kamar sewa kos-kosan. Namun kondisi ini tampaknya tidak menyurutkan semangat anak-anak Pulau Boleng untuk terus belajar dan mendapatkan pendidikan.

Eksplorasi pesisir pantai kemudian berujung di rumah Om Baha, salah seorang yang dituakan di kampung ini. Sebagian kawan-kawan mengenalnya sangat baik. Ketika kami tiba, Ia menyambut dengan sangat ramah. Ia berprofesi sebagai nelayan. Sembari menikmati hidangan kopi sebagai bentuk perjamuan kami, ia banyak sekali bercerita tentang kondisi kampungnya saat ini dan aktivitas nelayan yang masih berlangsung. Kencangnya badai laut yang ia lewati seolah tergambar jelas pada tiap jengkal garis keriput wajahnya.

Hari beranjak gelap. Dari pengeras suara masjid, azan magrib berkumandang merdu sekali. Lagi-lagi kami mendiskusikan rencana lanjutan. Apakah menginap atau kembali ke Labuan Bajo. Maka dengan mempertimbangkan berbagai kondisi aktivitas untuk esok hari, kami bersepakat ada yang pulang dan ada yang tinggal. Saya bersama dua orang teman memilih untuk menginap.

Kami menginap di rumah kerabat keluarga salah seorang teman. Selepas magrib, kami memilih duduk di beranda rumah menikmati suasana malam kampung ini. Ibu pemilik rumah menghampiri, membawakan secangkir teh hangat sebagai teman bercerita. Ia pun ikut duduk menemani kami. Ia berkisah banyak hal, mulai dari jejak cahaya hingga praktek dukun beranak.

“Listrik belum lama masuk di kampung ini”, tuturnya. Baru dimulai awal tahun 2020. Listrik di sini menggunakan tenaga surya, dan setiap meteran rumah hanya dibatasi 450 watt. Jika pemakaian melampaui daya, maka dendanya adalah listrik rumah tersebut akan dipadamkan selama seharian penuh. Sebelum listrik tenaga surya masuk, kampung ini menggunakan mesin genset (dan mesin diesel) untuk penerangannya namun tidak 24 jam. Genset mulai dinyalakan pukul enam sore dan dipadamkan pukul sepuluh malam. Kondisi ini berlangsung sangat lama sekali. Bahkan pada masa sebelum mesin genset ada, penerangan di kampung ini hanya menggunakan lampu pelita ataupun lilin. Jika hari sudah gelap, sebagian besar penduduk cenderung tidak berkeliaran di luar rumah.

“Di sini juga bidan hanya satu, itupun statusnya sukarela”. Perhatian saya tiba-tiba terfokus dengan informasi ini. Saya pun ingin mendengar ceritanya lebih banyak. “Lebih baik cerita langsung dengan yang bersangkutan saja,” kata si ibu. Ia pun memberikan nomor telepon bu bidan dan lekas dihubungi oleh salah seorang kawan. Tak lama berselang, dia pun datang menghampiri kami.

Ia berasal dari Kampung Pontianak, di wilayah utara Pulau Boleng. Sebuah kampung yang berhadapan langsung dengan Pulau Sebabi. Seusai menyelesaikan pendidikan kebidanannya di salah satu sekolah kesehatan di Makassar, ia memilih pulang kampung untuk mengabdi. Awalnya ia mencoba untuk mengikuti seleksi CPNS, namun belum berhasil. Maka ia kemudian mendaftarkan diri menjadi sukarelawan di Puskesmas Kampung Terang.

Singkat cerita, bidan sebelumnya yang mengabdi di Pulau Boleng memilih mengundurkan diri. Maka desa pun mengajukan permintaan untuk penggantinya. Ia lalu menawarkan diri untuk mengisi posisi tersebut. Rupanya, masalah belum selesai ketika ia pindah ke sini. Ada banyak sekali tantangan yang harus iya tuntaskan.

Pada hari kerja pertamanya, ia mendapati satu persoalan utama baginya yaitu warga kampung jauh lebih memilih dukun beranak untuk persalinan mereka daripada pergi ke bidan. Alasannya sederhana, karena dukun beranak dianggap jauh lebih teruji keberhasilannya dengan segudang pengalaman yang dimiliki. Ditambah lagi, ia adalah bidan yang masih sangat muda dan belum menikah, belum pernah melahirkan anak. Warga tampak kurang menaruh percaya dengan posisinya.

Namun ia seorang yang pekerja keras dan tak pantang menyerah. Upayanya kemudian adalah  harus mengubah pola ini, meyakinkan warga untuk datang ke bidan. Ia melakukan pendekatan door to door, mengunjungi warga satu persatu dari rumah ke rumah. Mensosialisasikan pekerjaannya kepada warga tanpa merasa canggung ataupun malu. Pelan tapi pasti upaya ini membuahkan hasil. Namun ia juga harus kerja rangkap, mengingat tidak adanya dokter atau mantri, sehingga jika ada warga yang sakit, mereka akan mencari bidan. Rumah bersalin merangkap juga poliklinik.

Soalan lainnya menurutnya adalah dukun beranak yang masih aktif. Pendekatan personal ia lakukan yang tentu saja sangat paham konsekuensinya. Tapi dengan modal keberanian, ia menjalankan semua upayanya. Program dukun terlatih adalah buah hasil dari upaya pendekatan yang selama ini ia lakukan. Bermitra dengan dukun menjadi solusi mutakhir.

Proses persalinan wajib dikerjakan oleh bidan, sementara proses setelah itu bisa dikerjakan oleh dukun. Salah satu kisah yang beberapa kali ia alami adalah saat proses persalinan, pasien tetap mendesak sang dukun harus ada dalam ruang bersalin walapun tindakan persalinan tetap dilakukan oleh bidan. “Saya tidak melarang, membiarkannya saja selama tidak “mengganggu” proses bersalin, selama itu bisa menguatkan dan menenangkan si ibu yang akan melahirkan, “tidak apa apa,” jelasnya. Dukun tidak dilarang beraktivitas, tetapi persalinan harus ditangani dalam tindakan medis. Dukun yang sudah terlatih bisa membantu pada fase setelah bayi lahir.

Bu bidan sangat baik dan ramah sekali kepada kami. Lebih dari dua jam kami duduk dan saya menyimak kisahnya dengan seksama. Ia memilih mengabdi ke desa tanpa pamrih, walaupun desa membayarnya tiga ratus ribu rupiah setiap bulan dan itupun diterima ketika dana desa cair. Tapi ia sangat menikmati dan mencintai pekerjaannya. Ia tampak punya jiwa kemanusiaan yang tinggi.

Ia tinggal sendirian di rumah bersalinnya. Menurut cerita beberapa warga, area tempat tinggalnya itu tergolong keramat. Waktu zaman listrik belum masuk, banyak sekali kejadian aneh di kawasan tersebut. Warga sudah mengingatkannya ketika ia ingin menempatinya, tapi ia menyatakan baik-baik saja dan tidak takut terhadap kondisi tersebut.


MALAM SEMAKIN LARUT, obrolan kami seperti tak ada habisnya mendengar cerita tentang kampung ini. Tapi kami harus beristirahat. Besok pagi, kami bersepakat untuk mengunjungi pasar di Boleng Darat. Berupaya merekam aktivitas masyarakat dan denyut nadi ekonominya. Setiap hari senin, dilaksanakan pasar mingguan. Pasar dimulai sejak pukul lima subuh dan berakhir pukul delapan pagi. Pasar yang berlangsung singkat, hanya berdurasi tiga jam. Dan ketika selesai, pasar ini benar-benar kosong. Tak satupun pedagang yang menempati lapak jualan mereka sampai hari pasar berikutnya.

Jika hari pasar berlangsung, para pedagang dari boleng pulau akan ikut ambil bagian. Sebagian besar adalah ibu-ibu. Hasil laut lebih banyak dibawa dari Boleng Pulau, dan hasil bumi dibawa oleh pedagang Boleng Darat. Menariknya, walapun uang sudah menjadi alat tukar, namun cara barter masih berlaku di sini antara penjual dan pembeli. Barang ditukarkan dengan barang. Ikan akan ditukar dengan beras, gula, dan lain sebagainya.

Ibu-ibu Pulau Boleng yang membawa barang-barang dari Pasar Boleng Darat menuju perahu. (Foto Bondan NM)

Salah-satu kebiasaan menarik adalah ketika mereka memindahkan barang bawaan. Ibu-ibu ini akan menyimpan beban bawaannya di atas kepala lalu berjalan santai seolah tidak khawatir barang tersebut akan jatuh. Penuh keseimbangan. Walaupun tampak berat, mereka tetap tersenyum dan saling menyapa satu sama lain.

Bolaang dan Boleng tentu saja dua tempat yang berbeda dan tidak punya hubungan sama sekali. Berada di propinsi dan daratan yang berbeda pula. Namanya sepintas terlihat “seksi” di kepalaku. Dalam konteks yang “iseng-iseng” saya menemukan bagian makna yang identik, namun tidak pada bagian makna yang lain. Jika Bolaang bermakna tempat yang terang, Boleng begitu lama menyelami gelap. Cahaya punya jejak cerita yang panjang di sana, dan mereka terus berjuang menciptakan pelitanya sendiri. []

About The Author

Pemerhati Ketiak Kodok | Pengamat Lompatan Belalang

Post a Comment

You don't have permission to register
%d blogger menyukai ini: